Pages

Senin, 07 Juni 2010

artikel

Yayasan Indonesia Mengajar yang didirikan oleh Anies Baswedan mengirimkan 50 orang pengajar muda ke lima kabupaten. Ke lima kabupaten itu adalah Bengkalis di Riau, Tulang Bawang di Lampung, Passer di Kalimantan Timur, Majene di Sulawesi Barat, dan Halmahera di Maluku Utara.

Pengiriman pengajar – pengajar berusia 25 tahun dan harus berIPK minimal tiga ini sebenarnya terinspirasi gerakan serupa yang telah dilaksanakan oleh pemerintah pada tahun 1950. Ternyata, pengiriman tenaga pengajar ke wilayah terpencil selama kurun waktu 1951-1952 mampu menginspirasi penduduk di wilayah terpencil untuk mengirim anak – anak mereka untuk belajar di perguruan tinggi.

Anis Baswedan berharap bahwa program ini akan kembali menuai sukses: terciptanya pendidikan yang berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan status sosial masyarakat.

Hanya saja, perlu kita sadari bahwa rentang waktu antara tahun 1950an sampai sekarang terpaut cukup jauh. Kondisi social masyarakat antara tahun itu dengan saat ini pasti sudah sangat jauh berbeda. Meskipun disebut sebagai daerah yang terpencil, penyebaran informasi saat ini sudah dapat dibilang cukup merata.

Tahun 1950an televisi masih menjadi barang yang mewah. Namun sekarang, bukan hanya televisi, orang – orang di pedesaan pun telah mampu mengakses internet. Jadi, jika gerakan ini dimaksudkan untuk menginspirasi orang – orang yang berada di daerah terpencil agar lebih mementingkan pendidikan, saya rasa mereka sudah cukup sadar dengan hal ini.

Jika dikatakan bahwa fasilitas pendidikan yang ada di kota dengan fasilitas pendidikan yang ada di daerah masih terdapat kesenjangan itu benar. Maka pengiriman sarjana untuk mengajar di wilayah terpencil dengan tujuan untuk menjembatani perbedaan fasilitas yang ada – dibarengi dengan kecakapan dalam pemanfaatannya – sangat diperlukan.

Kemudian yang juga harus lebih diperhatikan adalah bahwa sarjana yang dikirimkan ke daerah – daerah itu harus benar – benar memiliki niat untuk memajukan pendidikan di wilayah terpencil. Bukan hanya sekedar untuk mencari kesibukan karena belum mendapatkan pekerjaan yang pas. Hal ini terjadi pada program sarjana penggerak pembangunan pedesaan di Yogyakarta. Program ini memberikan imbalan yang cukup minim, yaitu Rp 1 juta sebulan dan Rp 2,5 juta tambahan setiap tahun. Salah seorang peserta yang diwawancara mengatakan bahwa ia mengikuti program ini karena belum memiliki pekerjaan.

Masalah penyediaan lapangan pekerjaan adalah masalah yang masih perlu mendapatkan perhatian cukup serius dari pemerintah. Banyak terjadi kasus lulusan – lulusan fakultas teknik atau pertanian yang menjadi guru karena kurangnya lapangan pekerjaan untuk bidang ilmu yang telah mereka geluti ketika kuliah.

Permasalahannya begitu rumit.

0 komentar:

Anda Pengunjung Ke-